Wednesday, 12 January 2022

Cerpen THE PRINCESS DIAMOND


 
BAB 1

 

"LAELA!" teriak sang Ibu mertua.

 

Laela, yang sedang membersihkan dapur, lari tertatih-tatih menghampiri Ibu mertuanya di kamar.

 

"A-ada apa, Bu?" tanya Laela gugup.

 

"DASAR MENANTU NGGAK BECUS!" Ibu melemparkan blazer pink ke wajah Laela. "KENAPA MASIH ADA NODA DI BLAZER SAYA, HAH?! SUDAH BERANI KAMU MELAWAN SAYA?!"

 

Laela menunduk ketakutan. "Ma-maafkan aku, Bu.  Aku akan mencucinya sekali lagi sampai bersih."

 

"TIDAK PERLU!" bentak Ibu kasar. "APA KAMU MAU MEMBUAT SAYA TERLAMBAT MENGHADIRI RAPAT PENTING, HAH?!"

 

Laela menggeleng cepat. "Ti-tidak, Bu! Bu-bukan begitu maksud aku."

 

"SUDAHLAH! SAYA MUAK DENGANMU!  BURUAN PERGI DARI KAMAR SAYA!  CEPAT!" teriak Ibu murka.

 

Laela terdiam tanpa berani berkata-kata. Dadanya sesak, menahan kepedihan yang sangat menusuk hatinya. Sejak awal dia masuk di keluarga Bwana hingga sekarang, Ibu mertuanya selalu memperlakukannya seperti seorang pembantu. Selama dia menikah dengan suaminya, Dewa, tidak ada seorang pun yang menganggapnya sebagai bagian dari keluarga Bwana. Mungkin, karena dia berasal dari keluarga yang tidak jelas asal-usulnya. Sebab, dia dibesarkan di panti asuhan.

 

Laela menunduk dalam, tidak berani sedikit pun bertatapan dengan sang Ibu mertua.

 

"Ba-baik, Bu. Aku permisi dulu," lirih Laela berusaha menahan perasaannya yang terluka. Ia segera pergi meninggalkan Ibu dan kembali menutup pintu di belakangnya.

 

Laela menghela napas panjang, berusaha mengendalikan perasaan yang hancur porak-poranda. Ia telah banyak melewati kesedihan dalam hidup. Masalah sepele seperti ini bukan alasannya untuk  menangis.

 

"Kenapa, sih? Cantik-cantik kok murung, nanti cantiknya hilang, loh …." Abang Ipar menyeringai menggoda.

 

Laela tersentak kaget. Secepat kilat Laela menghapus air mata dari pipinya. Ia menatap Abang iparnya datar, berusaha menyembunyikan raut kesedihannya.

 

"Maaf, saya harus ke dapur," pamit Laela datar, lalu hendak berjalan melewati Abang Ipar, tetapi tangannya langsung dicekal oleh pria kegatalan itu.

 

"Mau ke mana, sih? Buru-buru amat. Mending kita di sini dulu, ngobrol-ngobrol, mumpung nggak ada yang lihat," bujuk Abang Ipar sok mesra.

 

"Lepasin!" Laela langsung menarik tangannya dari genggaman Abang Ipar kasar. "Abang jangan kurang ajar, ya! Bagaimanapun juga, saya adik ipar Abang," tegurnya tegas.

 

"Belagu amat lo! Dasar Anak Yatim! Berani lo bentak gue, Hah?!" Abang memelototi Laela murka. Harga dirinya seakan diinjak-injak bagai sampah. "Seharusnya lo terima kasih sama keluarga gue, karena derajat lo naik gara-gara adik gue 'sudi' menikahi gadis 'udik' kayak lo! Kalau gak, mungkin lo udah jadi gembel di luar sana!" maki Abang murka.

 

Laela tertegun tak percaya mendengar kalimat itu terlontar dari adik iparnya sendiri. Apakah sebegitu hinanya dia di mata keluarga Bwana?

 

"Ada apa sih, Bang?" Adik perempuan Dewa menghampiri Abang dan Kakak iparnya. "Kok ribut-ribut di depan kamar Mama?"

 

"Biasalah!" Abang menatap Laela meremehkan. "Nih benalu nolak disuruh-suruh!"

 

Adik perempuan memelototi Laela. "Maksud lo apa, Hah?!" bentaknya tak terima. "Jangan mentang-mentang lo nikah sama Kakak gue, lo bisa kurang ajar sama kami!"

 

"Bu-bukan begitu—"

 

"Nih!" Adik perempuan melemparkan tumpukan baju kotor kesayangannya pada Laela hingga berjatuhan ke lantai. Besok hingga seterusnya dia harus mengenakan baju itu. "Buruan lo cuci baju-baju gue sampai bersih! Besok harus udah bersih dan rapi, ngerti?!"

 

Laela hanya menunduk, tidak berani melontarkan satu kata pun sebagai bentuk perlawanan. Dia sudah terbiasa diperlakukan seperti pembantu, bahkan difitnah oleh Kakak Iparnya sendiri.

 

Laela mengangguk pelan. "Ba-baik, Dek. Nanti Kakak cuci."

 

"Bagus! Lo harus tetap sadar diri dengan posisi lo di rumah ini! Ngerti?!" bentak Adik perempuan kasar.

 

Laela terdiam seribu bahasa.

 

"Ayo, Kak. Jangan dekat-dekat sama gadis udik ini!" Adik perempuan menarik sang Kakak menjauh dari Laela.

 

Laela hanya bisa menghela napas panjang, berusaha sabar sambil memunguti baju-baju yang berserakan di lantai. Apakah nasibnya akan selamanya seperti ini? Hanya dipenuhi kesedihan dan air mata?

 

Bukan pernikahan seperti ini yang Laela idam-idamkan, diperlakukan seperti seorang pembantu di keluarga suaminya sendiri.

 

Jika seandainya dia tidak menuruti wasiat Kakek Bwana supaya menikah dengan cucu kesayangan, Dewa Bwana, pasti semua penderitaan ini tidak akan menimpa hidupnya.

 

Tetapi, seperti kata pepatah, "Nasi sudah menjadi bubur", apa yang telah terjadi tidak akan bisa diubah lagi. Laela hanya bisa pasrah menjalani kehidupan yang penuh penderitaan ini dengan tabah dan sabar. Seperti yang selalu diajarkan Ibu angkatnya sekaligus inang pengasuhnya selama tinggal di panti asuhan.

 

 

***

 

 

Dewa Bwana berjalan beriringan dengan istrinya, Laela, menuju teras rumah sembari mengobrol-ngobrol dan bercanda ringan.

 

Setelah di depan teras, Dewa menatap Laela lembut. "Sayang, aku pamit kerja dulu, ya."

 

"Iya, Mas. Hati-hati di jalan, ya. Semangat kerjanya." Laela tersenyum begitu manis, mencium tangan sang suami.

 

Sesaat Dewa mengecup kening Laela penuh kasih sayang, lalu tersenyum manis. "Kamu baik-baik di rumah, ya, Sayang."

 

Laela mengangguk. "Iya, Mas."

 

"Aku pergi dulu, bye …," Dewa tersenyum sambil melambai ke arah Laela, lalu berjalan menuju mobil sportnya.

 

Dewa masuk dan melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah. Pria tampan itu masih menyempatkan diri untuk melambai sekali lagi pada sang istri sebelum benar-benar pergi.

 

Laela tersenyum manis memandangi mobil sang suami hingga menghilang dari pandangannya.

 

Senyuman Laela perlahan memudar ketika mengingat  masih begitu banyak pekerjaan rumah, yang sedang menanti dirinya.

 

"Aku harus tetap bersemangat!" gumam Laela menyemangati dirinya. Gadis itu kembali masuk ke rumah dan melanjutkan aktivitasnya.

 

***

 

Laela beristirahat sejenak di sofa kamar tidur ketika baru saja selesai membersihkan rumah yang mewah dan luas. Ibu mertuanya sengaja memecat semua pembantu supaya Laela mengerjakan urusan rumah seorang diri. Mulai dari mengepel, mencuci baju, menyapu, memasak, bahkan mencuci mobil.

 

Tring

 

Ponsel Laela berbunyi, menandakan ada notifikasi pesan masuk. Gadis itu buru-buru mengambil ponselnya di nakas dan memeriksanya.

 

"Ya ampun!" Laela bergumam, terkejut. Terdapat misscall puluhan kali dari saudara sepanti asuhannya.

 

Laela segera memeriksa pesan yang masuk.

 

Adik kesayangan: Kak, Ibu tiba-tiba pingsan karena sesak napas! Kakak buruan ke sini! Tolong, Kak! Ibu harus dibawa di rumah sakit!

 

Bagai disambar petir, Laela ternganga tak percaya. Air matanya tumpah ruah hingga mengalir deras, dunianya seolah runtuh.

 

"Tidak mungkin!"

 

Laela bergegas pergi menuju panti asuhan sesudah mengganti pakaiannya.

 

***

 

Laela buru-buru turun dari motor, memberikan sejumlah uang dan helmnya pada tukang ojek, lalu bergegas memasuki rumah panti asuhan.

 

"Kakak!" Adik angkatnya menangis histeris di dekat Ibu asuh yang tergeletak di lantai ketika melihat kedatangan Laela.

 

Laela langsung lari menghampiri Ibu dan bersimpuh di dekatnya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Dek?! Kenapa Ibu sampai pingsan begini?!" tanyanya panik.

 

"Nggak tahu, Kak! Ibu tadi sesak napas lalu tiba-tiba pingsan," jelas gadis belia itu terus menangis.

 

"Ya ampun!"

 

"Kami juga nggak tahu caranya bawa Ibu ke rumah sakit, Kak. Kami nggak punya ongkos dan biaya untuk perawatan rumah sakit."

 

Seorang cowok remaja menghampiri Laela. "Kak, ini ada surat untuk Kakak."

 

Laela langsung menerima surat itu. "Surat apa ini?" Dia buru-buru membacanya.

 

"A-aku nggak tahu, Kak," jawab cowok itu berbohong, takut mengatakan hal sebenarnya. Ia menunduk dalam.

 

Laela mematung syok ketika membaca isi surat tersebut. "Ya ampun," lirihnya dengan suara bergetar hebat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB 2

 

Flashback on.

 

Selama ini, Laela dibesarkan di panti asuhan di dalam kasih sayang Ibu asuhnya. Kebutuhan mereka sehari-hari dicukupi oleh relawan-relawan yang baik hati, yang menyumbangkan makanan, pakaian, bahkan uang.

 

Tetapi, yang paling berjasa dalam kehidupan anak-anak panti dan Laela, yaitu Kakek Bwana. Pengusaha sukses dan terkaya di Jakarta, memiliki perusahaan terbesar di Asia yang bergerak di bidang Real Estate, yaitu Bwana Group.

 

Kakek Bwana menjadi donatur tetap selama puluhan tahun, membiayai pendidikan anak-anak panti asuhan hingga sarjana. Laela salah satunya. Ia berhasil mendapat gelar Sarjana Management Bisnis, berkat kebaikan Kakek Bwana.

 

Selama di kampus, Laela mengikuti latihan ilmu Taekwondo hingga berhasil meraih prestasi sampai menjuarai beragam kompetisi Taekwondo. Bahkan Laela dipromosikan untuk mengikuti ajang bergengsi Asean Games sebagai atlet bela diri untuk membawa nama Indonesia ke jenjang Internasional.

 

Tetapi sayangnya, sebelum beberapa minggu keberangkatannya, Dewa Bwana datang ke panti asuhan untuk pertama kalinya dan mengabarkan kondisi kesehatan sang Kakek yang sakit sekaligus mewakili kakeknya untuk memberikan bantuan seperti biasanya.

 

Pada saat itulah, Dewa Bwana pertama kali bertemu dengan Laela dan terpana akan kecantikannya. Mulai sejak itu, dengan keinginannya sendiri Dewa selalu mewakili sang Kakak untuk menyerahkan bantuan sekaligus untuk melihat gadis pujaannya.

 

***

 

Beberapa hari kemudian.

 

Ibu panti dan Dewa duduk di ruang tamu sembari mengobrol ringan. Namun, sejak tadi cowok itu melirik ke pintu dapur, menanti gadis cantik itu ke luar menemuinya.

 

"Nak?" panggil Ibu heran, menyadari pria tampan itu tidak fokus mendengarkannya.

 

Dewa tersentak kaget. "Y-ya, Bu? Ibu tadi bilang apa?" tanyanya sedikit linglung.

 

Wanita paruh baya itu terkekeh khas seorang ibu. "Kamu kenapa? Kok melihat ke arah dapur terus? Kamu haus, ya?"

 

Dewa menunduk, tersenyum menahan malu. Ia merasa terpergok sedang menantikan Laela muncul. "I-iya, Bu," elaknya gugup, berbohong.

 

"Sayang! Kok kamu lama banget, sih, buat tehnya! Tuan Muda sudah kehausan," pekik Ibu lembut.

 

"Ng-nggak apa, Bu. Aku nggak haus, kok!" elak Dewa setengah panik.

 

"Nggak apa, Nak."

 

"Iya, Bu!" sahut Laela dari arah dapur. Tak lama kemudian, gadis itu ke luar sambil membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat.

 

Laela menyuguhkan satu cangkir ke hadapan Ibu dan cucu Kakek Bwana. "Silakan diminum, Mas. Maaf, kalau saya kelamaan bikinnya."

 

Dewa tersenyum canggung. "N-nggak apa."

 

"Oh, ya. Ibu harus ke warung untuk belanja keperluan buat makan malam. Ibu pamit dulu, ya, Nak." Ibu tersenyum pada Dewa.

 

Dewa mengangguk sambil tersenyum sopan. "Iya, Bu. Sekalian saya mau pam—"

 

"Nanti dulu! Kenapa buru-buru? Kamu bisa ngobrol-ngobrol dulu sama Laela sampai Ibu pulang," cegat Ibu. "Laela, kamu ajak Nak Dewa ngobrol-ngobrol sebentar, ya. Ibu ke warung dulu."

 

Laela mengangguk. "Ba-baik, Bu."

 

Ibu pergi meninggalkan Laela dan Dewa hingga mereka berdua saja duduk di ruang tamu. Beberapa saat, Dewa dan Laela membisu, sungkan membuka pembicaraan.

 

Dewa dan Laela hanya sibuk memainkan jemarinya dengan gugup.

 

"Hm  … aku dengar, kamu nanti akan pergi mengikuti Asean Games, ya?" tanya Dewa tersenyum kaku, berusaha basa-basi.

 

Laela berusaha menatap mata Dewa. "Y-ya, benar, Mas." Ia tersenyum malu-malu.

 

"Aku tidak menyangka gadis sepertimu bisa menguasai ilmu bela diri," puji Dewa kagum.

 

Laela tersipu malu. "Te-terima kasih,"

 

Semenjak hari itu, mereka semakin dekat.

 

***

 

Beberapa hari kemudian.

 

Laela sibuk mempersiapkan perlengkapannya dan memasukkannya ke dalam koper untuk mengikuti Asean Games. Tinggal beberapa hari lagi, Laela akan pergi untuk mengharumkan nama Indonesia di bidang Taekwondo.

 

"Sayang! Sayang!" Ibu menggedor-gedor pintu kamar Laela dari luar. Suaranya terdengar begitu panik.

 

Laela langsung membuka pintu. "Ya, Bu? Ada apa?" tanyanya ikut panik.

 

Ibu menangis terisak-isak. "Kakek, Nak! Kakek!"

 

Laela terbelalak sempurna. "Kenapa dengan Kakek, Bu?!" tanyanya cepat.

 

"Kakek kritis! Dia memintamu untuk segera menjenguknya!" ujar Ibu sedih.

 

Dewa menghampiri keduanya. "Maaf kalau saya lancang. Tetapi saya harus menyampaikan hal ini padamu langsung, Laela," terangnya dengan tatapan sendu. "Kakek memintamu untuk menjenguknya. Aku harap kamu bersedia melakukannya."

 

Air mata Laela tumpah begitu saja. "Tentu saja, aku akan segera ke sana."

 

***

 

Dewa dan Laela tergesa-gesa menyusuri koridor rumah sakit yang dingin menuju kamar ICU. Laela mengikuti pria yang berjalan di depannya dengan raut cemas.

 

Dari jauh, Dewa dan Laela mendapati orang-orang sudah berkumpul sambil menangis di depan kamar sang Kakek.

 

"Apa yang telah terjadi?" Dewa bertanya pada keluarga besar Bwana yang telah disuruh berkumpul.

 

Sang Mama menangis tersedu-sedu. "Kakek kritis, Sayang. Dia sedang menunggumu di dalam. Cepat kamu menemuinya."

 

"Baik, Ma." Dewa menggandeng tangan Laela untuk mengikutinya masuk ke dalam ruang ICU. Dokter tidak mengizinkan banyak orang untuk masuk menjenguk Kakek, hanya diperbolehkan dua orang saja.

 

Air mata Dewa menetes begitu saja dari matanya ketika memasuki ruangan. Dengan kaki gemetar hebat, dia berjalan mendekati sang Kakek yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Sekujur tubuh pria rentan itu terpasang alat bantu medis dan hidungnya alat bantu oksigen.

 

"Kek …," panggil Dewa dengan suara bergetar hebat. Ia meraih tangan keriput Kakek dan menggenggam erat. "Aku sudah ada di sini bersama Laela, Kek. Sesuai permintaan Kakek."

 

Laela berjalan mendekati Kakek Bwana dengan mata berkaca-kaca. "Kek …," lirihnya pelan dengan suara bergetar hebat.

 

Dengan napas sedikit tersengal-sengal, Kakek Bwana menatap Laela dengan mata setengah terpejam. "Nak … Ka-kakek memiliki satu permintaan padamu, bisakah kamu mengabulkannya?" pintanya lirih, seolah tenaganya hampir habis hanya mengucapkan kalimat itu.

 

"Tentu saja, Kek. Katakan saja." Tidak mungkin Laela menolak permintaan seorang kakek yang sangat berjasa di hidupnya. Ini mungkin menjadi permintaan pertama dan terakhir.

 

"Berjanjilah kalau kamu mau menikah dengan cucu Kakek, Dewa Bwana,"

 

Sontak Dewa dan Laela saling berpandangan dengan terkejut.

 

"Ma-maksud Kakek?" tanya Laela syok.

 

"Kakek sudah tidak kuat lagi … tolong berjanjilah," pinta Kakek penuh harap.

 

"Ba-baiklah, Kek. Aku bersedia." Tanpa berpikir panjang Laela mengiyakan permintaan Kakek. Mungkin, dengan ini Laela bisa membalas kebaikan Kakek Bwana.

 

Dengan perasaan bahagia, Kakek tersenyum samar sebelum mengembuskan napas terakhir.

 

"Te-rima … kasih," Kakek memejamkan matanya rapat-rapat. Seketika suara pendeteksi detak jantung berbunyi nyaring. Garis di layar monitor yang semula naik turun, perlahan bergerak lurus.

 

"Kakek! Bangun, Kek! Aku mohon, bangun!" Dewa menjerit histeris sambil menepuk-nepuk pipi sang Kakek.

 

Dokter serta beberapa perawat langsung masuk ke ruang ICU dan memeriksa kondisi Kakek.

 

"Tolong kalian keluar," pinta salah satu suster, mendesak.

 

"Tidak!"

 

Laela membujuk Dewa supaya mau keluar agar jangan mengangguk proses penanganan para tim medis.

 

Flashback off.

 

 


BAB 3

 

 

Sudah satu jam berlalu, semenjak Laela  membawa Ibu asuhnya ke rumah sakit.

 

Gadis itu berjalan mondar-mandir di depan pintu UGD dengan perasaan tak karuan. Cemas, panik dan takut, bercampur aduk menjadi satu.

 

Terdengar suara pintu terbuka. Pria berjas putih ke luar dari ruang UGD dengan wajah sendu.

 

"Bagaimana dengan keadaan Ibu saya, Dok? Dia baik-baik saja, kan?" tanya Laela berlinang air mata.

 

"Ibu Anda mengidap penyakit tumor otak stadium akhir dan harus segera dioperasi," jelas Dokter itu.

 

"Apa?" Laela menutup mulutnya syok, matanya berkaca-kaca. "Tumor otak, Dok?"

 

Dokter mengangguk pelan, memandang Laela iba. "Kita harus segera mengambil tindakan operasi, karena jika tidak, Ibu Anda tidak mungkin selamat. Waktunya hidupnya hanya 1×24 jam."

 

Laela kehilangan kata-kata. Ia berusaha mengendalikan perasaan yang hancur porak-poranda. "Memangnya … berapa biaya operasinya, Dok?"

 

"150 juta."

 

150 juta? Bagaimana bisa aku mendapatkan uang sebanyak itu dalam satu hari? batin Laela frustrasi.

 

"Apa bisa dioperasi dulu baru dibayar, Dok?" tanya Laela memohon.

 

Dengan berat hati, sang Dokter menggeleng. "Maaf … tidak bisa. Semua rumah sakit menerapkan aturan harus bayar di awal, baru dilakukan tindakan operasi. Itu sudah menjadi aturan rumah sakit."

 

"Apa bisa dicicil?"

 

"Maaf, belum bisa."

 

Laela makin frustrasi. Ia seperti kehilangan sandaran hidup.

 

"Dok, pasien di kamar ICU kritis, Dok!" panggil salah satu suster.

 

"Maaf, Nona. Saya permisi dulu." Dokter itu langsung mengikuti suster dan meninggalkan Laela seorang diri.

 

Laela terduduk lemas di bangku dekatnya. Ia menunduk sambil mencengkeram rambutnya kuat-kuat menggunakan dua tangan.

 

"Apa yang harus kulakukan, Ya Allah?"

 

***

 

Laela berjalan mondar-mandir dekat pintu rumah, menunggu suaminya pulang. Saat ini, hanya Mas Dewa harapan dia satu-satunya untuk mendapatkan 150 juta dalam waktu satu hari.

 

Biasanya, pada siang hari, Mas Dewa akan menyempatkan diri untuk pulang makan siang di rumah, sengaja menikmati masakan sang istri.

 

Suara klakson mobil Dewa mengagetkan Laela. Gadis itu membuka pintu dan berdiri di teras untuk menyambut kedatangan Mas Dewa.

 

Laela berusaha tersenyum manis pada Dewa, yang sedang berjalan menghampirinya.

 

"Halo, Sayang." Dewa mencium kening Laela, lalu Laela mencium tangan suaminya.

 

"Mas pasti lapar, kan? Aku sudah masakin makanan kesukaan kamu, loh. Ayo kita masuk," ajak Laela.

 

***

 

Dewa duduk di kursi utama di meja makan, sedangkan Laela menyiapkan makanan untuk suaminya.

 

"Kamu tidak makan, Sayang?" tanya Dewa sambil mengaduk-aduk nasinya, bersiap-siap hendak memakannya.

 

Laela duduk di dekat suaminya. Ia menggeleng sambil tersenyum. "Nggak, Mas. Aku masih kenyang, karena tadi aku sudah makan."

 

"Serius?"

 

Laela mengangguk yakin.

 

"Aku maka, ya." Dewa menyantap makanannya penuh nikmat. Laela hanya memandangi suaminya yang makan begitu lahap dengan tatapan sedih. Ia berusaha menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan soal uang 150 juta.

 

Setelah selesai makan, Dewa minum air putih hingga habis.

 

"Enak sekali masakan istriku," puji Dewa tersenyum.

 

Laela tersipu malu. "Terima kasih."

 

Senyuman di bibir Laela perlahan sirna. Ia memainkan jemarinya dengan wajah sedih, berusaha memancing simpati Dewa.

 

"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Dewa cemas. Ia meraih tangan Laela di meja dan menggenggamnya. "Kok wajah kamu sedih? Apa kamu lagi punya masalah? Cerita sama aku," bujuknya lembut.

 

"Mas," Laela menatap mata Dewa memohon. "Apa … aku bisa minta uang 150 juta?"

 

"Untuk?"

 

"Untuk biaya operasi Ibu," jelas Laela menahan tangis. "Ibu terkena penyakit tumor otak, Mas."

 

"Apa?!" Dewa ternganga syok. "Bagaimana bisa? Kenapa kamu tidak memberi tahu aku?"

 

"Aku juga baru tahu soal penyakit Ibu hari ini, Mas. Dan sekarang, Ibu harus segera dioperasi, kalau nggak, nyawa Ibu tidak bisa tertolong." Tangis Laela pecah.

 

Dewa tersenyum manis. "Tentu saja, Sayang. Aku akan memberikannya. Ibu kamu, Ibu aku ju—"

 

"TIDAK BISA!" potong Ibu mertua murka.

 

Dewa dan Laela terlonjak kaget.

 

"Enak saja kamu meminta uang sebanyak itu secara cuma-cuma!" maki Ibu mertua. "Kamu mau bekerja beberapa tahun pun, tidak mungkin bisa mengembalikannya. Dan, sekarang, kamu malah minta dengan cuma-cuma pada anak saya, Hah?!"

 

"Bu-bukan begitu, B—"

 

"Cukup, Ma!" tegur Dewa. "Ibu Laela Ibu aku juga. Sudah seharusnya aku membantunya, Ma."

 

"Tidak!" Ibu memelototi Dewa. "Awas saja, kalau kamu sampai memberikannya uang itu pada istrimu yang tidak tahu malu ini! Mama tidak akan pernah menganggap kamu sebagai anak Mama lagi! Paham?!" kecamnya.

 

Dewa menatap sang Mama memohon. "Tapi, Ma—"

 

"Sekarang kamu berani melawan mama cuma demi gadis hina ini, hah?!" potong Ibu mertua murka, kecewa.

 

"Bukan begitu, Ma."

 

"Apa ini balas budimu sama mama?!" Ibu mertua berakting menangis.

 

Dewa menghela napas kasar. Dia tidak memiliki pilihan lain. Melihat mamanya menangis hatinya ikut sangat hancur.

 

"Baiklah, Ma. Aku tidak akan memberikannya, puas?!"

 

Dewa segera pergi meninggalkan meja makan.

 

Hidup Laela benar-benar hancur berantakan. Tiada seorang pun yang biasa diandalkan di kala kesusahan melandanya. Di tambah dia menerima surat peringatan dari pemilik tanah dan bangunan, tempat rumah panti asuhnya berdiri. Besok jatuh tempo, pemilik tanah mengancam Laela harus membayarnya tidak telat waktu, karena jika tidak, mereka akan menggusur rumah panti asuhan.

 

 

***

 

Laela kembali ke panti asuhan. Ia duduk termenung di kamarnya dahulu, memikirkan biaya operasi dan sewa yang harus dia dapatkan secepat mungkin. Bahkan, waktunya hanya tersisa sedikit lagi.

 

"Tidak, tidak, tidak! Aku tidak boleh menyerah! Pasti akan ada jalan keluar dari Allah. Tidak mungkin Allah memberikan cobaan melebihi kekuatan umat-Nya."

 

"Kakak! Kakak!" Seorang anak panti asuhan masuk ke kamar Laela dan memberitahukan bahwa ada seseorang yang mencarinya.

 

Laela langsung menemui orang tersebut. Dari ambang pintu, Laela melihat seorang pria mengenakan setelan jas hitam elegan, berdiri memunggunginya. Mobil sedan mewah bertengger di depan rumah.

 

"Maaf, cari siapa, ya?"

 

Pria itu berbalik menghadap Laela. Ia tertegun, memandang Laela dari atas ke bawah dengan tatapan menilai. "Apakah Anda bernama Laela?"

 

Laela mengangguk. "Benar. Ada apa Tuan mencari saya?"

 

"Boleh saya masuk? Saya akan menjelaskannya di dalam."

 

Laela mengangguk. "Baiklah, silakan."

 

Pria itu masuk dan duduk di sofa tamu, demikian dengan Laela.

 

"Ada urusan apa Tuan mencari saya?"

 

"Sebelumnya, perkenalkan nama saya Ahmadnegar, pengusaha asal Timur Tengah. Saya datang ke sini ingin menanyakan perihal dirimu."

 

"Aku?" Laela mengernyit bingung. "Maksudnya?"

 

"Ceritakan semua tentang dirimu."

 

Meskipun bingung, Laela menceritakan semua tentang perjalanan kehidupannya. Mulai dari masa kecil hingga dewasa. Tidak ada curiga sedikit pun yang tebersit di hati Laela.

 

"Boleh saya melihat tanganmu?"

 

Laela mengernyit curiga. Baginya tindakan Paman ini sudah terlewat batas. "Buat apa?"

 

"Apa kamu memiliki tanda lahir di punggung tanganmu?" tebak Ahmadnegar percaya diri.

 

Laela terperangah. "Bagaimana Tuan bisa tahu?" tanya Laela terkejut.

 

Apakah dia benar-benar orangnya? batin Ahmadnegar penuh harap.

 

 

 

 


BAB 4

"Jadi, kamu benar memiliki tanda lahir di punggung tanganmu?" tebak Ahmadnegar.

 

Laela mengangguk. "Ya, benar. Tapi bagaimana Tuan bisa tahu?"

 

Ahmadnegar mengeluarkan sebuah alat pendeteksi data manusia. "Bisakah saya meminjam tanganmu, sebentar?"

 

Laela menggeleng. "Alat apa itu?"

 

"Apa kamu ingin mengetahui rahasia yang selama ini 'mungkin' merupakan pertanyaanmu selama puluhan tahun?"

 

Laela mengernyit. "Maksudnya, Tuan? Rahasia apa?"

 

"Kalau kamu ingin mengetahuinya, tolong Nona meletakkan tangan Nona di alat ini," bujuk Ahmadnegar.

 

Laela terpaksa meletakkan tangannya di alat itu demi mengetahui rahasia yang dimaksud pria paruh baya tersebut. Semua hal yang berhubungan dengan Laela terlihat dari alat pendeteksi data itu, dari golongan darah, umur dan bahkan data-data lainnya yang berhubungan dengan gadis itu.

 

"Jadi, ternyata benar," gumam Ahmadnegar berbinar. "Akhirnya …."

 

"Benar, apanya, Tuan?" tanya Laela penasaran.

 

Ahmadnegar bangkit berdiri dan menunduk hormat pada Laela. "Kamu benar-benar Tuan Putri yang saya cari selama ini."

 

"Tuan Putri?" Laela mengernyit heran. Otaknya semakin amburadul dengan kalimat pria itu. "Maksudnya?"

 

Ahmadnegar kembali duduk di sofa. "Saya telah mencarimu hampir 10 tahun."

 

"Memangnya kenapa Tuan mencari saya?"

 

"Ibumu adalah seorang TKW yang bekerja pada Tuan Mohammed Ayyubi, tetapi ternyata Tuan Ayyubi menyukai Ibu Tuan Putri dan akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Meskipun, Ibu Tuan Putri merupakan istri keempat Tuan Ayyubi, tetapi Tuan Ayyubi lebih mencintai Ibu Putri daripada istri-istrinya yang lain. Karena itu, Ibu Tuan Putri dibunuh dengan cara diracuni.

 

"Tetapi sebelum kematiannya, Ibu Tuan Putri mengatakan pada Tuan Ayyubi bahwa dia mempunyai seorang putri yang tinggal di Indonesia dari hasil pernikahan mereka untuk menghindari kejahatan para istri-istri suaminya. Makanya itu, Tuan Ayyubi menyuruh saya mencari Tuan Putri di Indonesia."

 

Laela ternganga tidak percaya. Air matanya langsung meluncur bebas. Pertanyaan yang selama ini selalu tebersit di hatinya, akhirnya terjawab.

 

"Apakah itu mungkin?" tanya Laela ragu.

 

"Tentu saja, Tuan Putri."

 

"Jadi … aku masih memiliki seorang Ayah?" tanya Laela tersenyum semringah.

 

"Benar, Tuan Putri. Ayah Anda merupakan pengusaha terkaya di dunia, pemilik perusahaan Diamond Crop, yang bergerak di perminyakan, real estate, pertambangan, kelapa sawit, hotel, dan masih banyak lagi. Mungkin, Tuan Putri pernah melihat beliau di televisi. Karena beliau cukup terkenal. "

 

"Bisakah aku bertemu dengannya?"

 

"Maaf, tetapi untuk saat ini tidak bisa, Tuan Putri, karena beliau berada di Arab. Tetapi, saya akan meneleponnya untuk memberitahukan kabar bahagia ini." Ahmadnegar mengeluarkan ponsel dari saku jasnya lalu menghubungi Tuan Ayyubi melalui video call.

 

"Selamat siang, Tuan."

 

"Bagaimana? Apa kamu berhasil menemukan putri semata wayang saya? Sudah terlalu lama saya menunggu hasil kerjamu, Ahmad!" protes Ayyubi dari seberang sana.

 

"Maafkan saya, Tuan. Tetapi, sekarang saya berhasil menemukan putri Tuan."

 

"Apa kamu serius?! Kamu jangan bercanda! Mana dia?!"

 

Ahmadnegar memberikan ponselnya pada Laela.

 

Laela bertatapan cukup lama dengan seorang pria paruh baya yang wajahnya terpampang di layar ponsel.

 

"Ka-kamu …," Suara Ayyubi bergetar hebat menahan tangis. Ia tersenyum bahagia dengan mata berlinang air mata. Sudah hampir puluhan tahun dia ingin melihat wajah putri semata wayangnya. Akhirnya, untuk pertama kalinya, dia bisa melihat wajah anaknya.

 

"Kamu benar-benar mirip dengan Ibumu, Sayang."

 

Tangis Laela seketika pecah. "A-ayah …,"  Air matanya seketika jatuh tak tertahan, terharu. Kalimat itu sangat berat terlontar, karena belum pernah dia mengucapkan satu kata itu pada seorang pun.

 

"Iya, Sayang, ini Ayah." Ayyubi ikut menangis.

 

"Aku senang sekali bisa bertemu dengan Ayah. Aku tidak menyangka, aku masih memiliki sosok ayah."

 

"Maafkan Ayah, Sayang. Karena Ayah, kita harus berpisah."

 

"Tidak, Ayah. Semua ini bukan salah Ayah."

 

 

***

 

 

Setelah momen mengharukan itu, Ahmadnegar mengajak Laela bersama anak-anak panti untuk mengunjungi perusahaan Diamond Crop di Jakarta. Ketika Tuan Ayyubi memerintahkan Ahmadnegar untuk mencari keberadaan putrinya di Indonesia, Tuan Ayyubi juga menyuruh pelayan setianya itu supaya membuka cabang di Indonesia sembari mencari putrinya.

 

Hanya dalam waktu sepuluh tahun, bisnis yang dipimpin Ahmadnegar melesat naik hingga mampu meraung omset per bulan mencapai triliunan rupiah.

 

Laela membantu anak-anak panti bersiap-siap untuk pergi. Ahmadnegar mengatakan dia harus pergi ke kantor Diamond Crop terlebih dahulu untuk mengumpulkan seluruh karyawan untuk pelantikan Direktur Utama baru dan menanti mereka di sana.

 

Mereka dijemput dengan bus super mewah dengan fasilitas lengkap yang dikirim langsung oleh Ahmadnegar. Hari ini merupakan hari paling membahagiakan bagi anak-anak panti karena bisa jalan-jalan.

 

***

 

Tak lama kemudian, akhirnya mereka tiba di kantor Diamond Crop. Anak-anak panti dan Laela melongo melihat gedung pencakar langit yang sangat tinggi itu.

 

"Wah! Tinggi sekali, Kak!" seru bocah enam tahun.

 

"Iya, Dek. Ayo, kita masuk." Dengan antusias Laela memandu anak-anak panti menuju pintu masuk gedung.

 

"Eh! Eh! Eh! Kalian mau ke mana?!" Dua satpam dengan sigap menghadang mereka.

 

"Kami mau masuk, Pak." Laela tersenyum sopan.

 

"Nggak boleh!  Pergi sana! Jangan membuat gaduh  di sini! Ini kantor, bukan taman rekreasi!" bentak satpam bertubuh gempal.

 

"Buruan pergi! Kalian cuma bikin kotor kantor!" timpal temannya.

 

"Tapi saya sudah diizinkan untuk masuk oleh pemilik kantor ini!" tegas Laela mulai kesal.

 

"Jangan berbohong! Kalian pikir kami bodoh! Palingan kalian mau mencuri, kan?! Apa kalian tidak ada lagi donatur untuk membiayai kalian makan, hah?! Buruan pergi! Jangan sampai kami mengusir kalian dengan cara kekerasan!" bentak mereka.

 

"Makanya kalau miskin, jangan sok-sokan pergi ke mana-mana! Diam aja di rumah!" makinya.

 

"Jaga ucapan kalian!" bentak Laela murka. "Kalian boleh menghina saya,  tapi jangan sekali-kali menghina saudara-saudara saya!"

 

Banyak karyawan berkerumun di lobi kantor untuk menonton pertengkaran mereka.

 

"Apa kau pikir kami peduli, hah?!"

 

"dasar biadab! Kalian yang miskin tata krama, persis seperti sampah!" maki Laela habis kesabaran.

 

"Apa katamu?!" Salah satu satpam sontak melayangkan tangannya untuk menampar wajah Laela.

 

"HENTIKAN!" teriak Ahmadnegar murka. Ia buru-buru menghampiri mereka dan memarahi para satpam itu.

 

"Apa maksudmu mau menampar dia, hah?! Di mana sopan santunmu?!" bentak Ahmadnegar.

 

"Maafkan kami, Tuan." Mereka menunduk ketakutan. "Orang-orang ini berusaha menyelonong masuk."

 

Ahmadnegar langsung menampar kedua satpam itu. Namun, mereka hanya diam tanpa berniat memberi perlawanan.

 

"Pecat saja orang-orang biadab ini, Tuan! Mereka tidak pantas bekerja di sini lagi!" tegas Laela.

 

"Baiklah, kalau itu keinginanmu." Ahmadnegar mengangguk sopan, lalu menatap dua satpam itu murka. "Mulai detik ini, kalian saya pecat! Pergi dari kantor saya! Cepat!"

 

Terdengar bisik-bisik di antara orang yang berkerumun untuk menonton.

 

"Siapa gadis itu? Kenapa Bos menurutinya?"

 

"Entahlah, aku juga tidak tahu."

 

"Apa dia anaknya?"

 

"Tetapi mereka tidak mirip. Apalagi penampilan gadis itu norak sekali."

 

"Saya mohon, Tuan. Jangan pecat saya," mohon kedua satpam itu.

 

"Kalian tidak dengar apa yang dikatakan gadis ini barusan, Hah?! Dia tidak sudi kalau kalian bekerja di kantor ini lagi!" teriak Ahmadnegar murka. "CEPAT PERGI!"

 

Kedua satpam itu berlutut di kaki Laela. "Maafkan sikap kami, Mbak. Kami sudah melakukan kesalahan yang fatal. Tolong, jangan pecat kami! Anak dan istri kami mau makan apa?"

 

"Saya tidak peduli! Ayo, anak-anak kita masuk." Laela mengajak anak-anak panti memasuki gedung mewah itu.

 


BAB 5

 

Laela dan anak-anak panti berdecak kagum melihat interior dalam ketika memasuki gedung pencakar langit itu. Lampu kristal raksasa menggantung indah di langit-langit gedung. Interior gedung didominasi warna emas. Baru pertama kali bagi anak-anak panti berkunjung ke gedung mewah seperti ini.

 

"Wah, keren sekali!"

 

Ahmadnegar memanggil seorang pelayan. “Pelayan, ajak anak-anak ini makan di restoran di ruang VVIP, lalu temani mereka mengelilingi kantor, berenang, dan jalan-jalan ke mal. Turuti apa pun yang mereka inginkan. Aku telah memberikan black card padamu tadi, kan? Dan, pastikan mereka tidak lecet sedikit pun. Paham?”

 

Pria ber-taxedo serba hitam itu mengangguk sopan. “Baik, Tuan. Saya akan menjadi mereka baik-baik,” ujar sang Kepala ajudan.

 

“Yeah!” seru anak-anak panti sambil meloncat-loncat girang.

 

“Memangnya kantor ini ada malnya, Tuan?” tanya Laela bingung.

 

“Tentu saja, Tuan Putri. Mal besar yang berdampingan dengan gedung Diamond Crop yang Tuan Putri lihat tadi adalah milik Tuan Ayyubi dan memiliki akses jalan langsung dengan gedung kantor ini.”

 

“Wah! Hebat!” seru anak-anak panti kagum.

 

“Pergi dan bersenang-senanglah, anak-anak.” Ahmadnegar tersenyum lembut pada mereka. Ahmadnegar menyuruh kepala ajudan itu untuk mengajak anak-anak itu makan di restoran kantor sebelum pergi berkeliling. 

 

Anak-anak itu dituntun menuju restoran di sisi kanan gedung. Mereka langsung disambut oleh belasan pelayan restoran yang berdiri berjejer di red carpet masuk.

 

"Selamat datang," sambut manajer restoran pada anak-anak panti.

 

Laela tersenyum manis memandangi anak-anak itu tampak begitu bahagia ketika untuk pertama kalinya masuk ke restoran mewah.

 

"Ayo, Tuan Putri. Kita langsung ke ruangan saya."

 

"Baik, Tuan."

 

Laela dan Ahmadnegar menaiki lift privat menuju lantai teratas, tempat khusus Direktur Utama dan Wakil Direktur.

 

Lift berdenting ketika tiba di lantai yang dituju dan pintu perlahan terbuka. 

 

Ahmadnegar dan Laela ke luar dan memasuki ruangan Wakil Direktur.

 

Seorang pria tampan dan muda langsung bangkit berdiri ketika Laela dan Ahmadnegar memasuki ruangannya untuk menyambut mereka.

 

"Selamat siang, Nona dan Tuan." Anderson, Sakit Direktur Diamond Crop, tersenyum manis pada gadis yang berdiri di samping Ahmadnegar. Pria itu sangat terpana dengan kecantikan gadis tersebut. Matanya hitam bulat, bibirnya kecil merah muda, rambutnya hitam. Sempurna.

 

"Maaf, panggil saya Nyonya," pinta Laela penuh wibawa.

 

"Oh, maaf …," Anderson tersenyum kikuk, lalu dia berpaling pada Ahmadnegar, meminta penjelasan.

 

"Perkenalkan, dia Laela, putri semata wayang Tuan Ayyubi. Mulai hari ini, dia akan menjadi Direktur Utama di Diamond Crop," jelas Ahmadnegar tersenyum.

 

"Putri semata wayang Tuan Ayyubi?" ulang Anderson terkejut.

 

"Ya, dia adalah putri Tuan Ayyubi yang selama ini berpisah."

 

"Jadi, Tuan Ayyubi memiliki seorang putri?" tanya Anderson.

 

Ahmadnegar mengangguk. "Ya."

 

Anderson manggut-manggut. Ia tersenyum sopan pada Laela. "Silakan duduk, Nyonya."

 

Laela dan Ahmadnegar duduk di sofa ruang kerja Anderson.

 

"Boleh Tuan menjelaskan semua tentang Diamond Crop?" pinta Laela.

 

"Baiklah." Anderson berdehem, menegakkan posisi duduknya. "Diamond Crop adalah perusahaan milik Tuan Ayyubi, Ayah Tuan Putri, yang bergerak di berbagai bidang, yaitu perminyakan, pertambangan, real estate, hotel dan masih banyak lagi. Diamond Crop telah berkembang hingga menjadi perusahaan raksasa yang hampir menguasai dunia bisnis di hampir seluruh macam negara. Pendapat omzet perusahaan mencapai triliunan rupiah dalam satu bulan saja."

 

Laela ternganga tidak percaya. "Triliun rupiah?"

 

"Benar, Nyonya."

 

"Apa Tuan Putri sudah mengerti?" tanya Ahmadnegar memastikan.

 

Laela mengangguk. "Iya, Tuan."

 

"Baiklah." Ahmadnegar tersenyum sedikit lebar sambil bangkit berdiri. "Mari ikut saya, saya akan memperkenalkan Tuan Putri pada seluruh karyawan di kantor ini."

 

"Jangan!" potong Laela panik.

 

"Kenapa, Tuan Putri?" Ahmadnegar mengernyit heran. "Bukankah seluruh karyawan di Diamond Crop harus tahu siapa Direktur Utama mereka yang baru?"

 

"Ti-tidak perlu!" tegas Laela gugup. "Aku tidak suka kalau semua orang tahu kalau aku anak dari pemilik perusahaan Diamond Crop. Aku mohon, tolong sembunyikan jati diriku dari mereka."

 

"Baiklah, kalau itu keinginan Tuan Putri." Ahmadnegar menunduk hormat.

 

"Oh iya, Tuan." Laela menatap Ahmadnegar sedikit gugup. "Apa boleh aku meminta uang 150 juta? Ibu asuhku sakit dan harus segera dioperasi hari ini. Dan besok, aku juga harus membayar uang sewa tanah. Boleh?"

 

"Tentu saja, Tuan Putri." Ahmadnegar terkekeh dengan sikap polos calon Direktur Utama itu. "Seluruh uang di DIAMOND CORP adalah milik Tuan Putri."

 

Laela tersipu malu. "Te-terima kasih, Tuan."

 

"Untuk urusan Ibu asuh Tuan Putri, kami akan memindahkannya ke Hospital Diamond milik Diamond Crop. Tuan Putri tidak perlu khawatir, Ibu asuh Tuan Putri akan ditangani oleh dokter-dokter berpengalaman dari seluruh dunia."

 

***

 

Laela dan anak-anak panti turun dari bus super mewah itu setelah pulang dari mengunjungi kantor Diamond Crop.

 

"Cepat, hancurkan gubuk jelek itu!" teriak manajer.

 

Laela dan anak-anak panti ternganga tak percaya. Orang-orang bertubuh kekar berkerumun di pekarangan rumah mereka. Bahkan, ada sebuah mobil alat berat beko yang dikerahkan untuk menghancurkan tempat mereka bernaung selama ini.

 

"hei! Hei! Hentikan!" teriak Laela. "apa-apaan kalian ini?! Kenapa kalian menyegel, bahkan mau menghancurkan rumah kami!"

 

Manajer kontraktor menunjuk-nunjuk wajah Laela kasar. "Kamu aja nggak bayar uang sewanya! Ngapain bos saya mengizinkan gubuk kalian berdiri di tanah ini, hah!"

 

"Tapi kan besok jatuh temponya, bahkan saya udah ada uangnya!"  balas Laela murka.

 

"Udahlah! Palingan uangnya juga kurang dan minta nyicil kayak selama ini!" maki manajer itu.

 

"Rambo! Rambo!"

 

Rambo, pria bertubuh kekar yang merupakan preman paling ditakuti dan memiliki tingkat tertinggi kriminalitas di Jakarta, datang.

 

"Pergi!" Rambo mendorong Laela kasar hingga gadis itu jatuh dan terduduk kasar di tanah.

 

Anak-anak panti menangis sambil membantu Laela berdiri. "Ayo, Kak. Kita pergi saja."

 

"Kalian benar-benar biabab! Di mana hati nurani kalian, hah?! Rumah ini merupakan tempat tinggal anak-anak yatim-piatu! Apa kalian tega menghancurkannya, hah?!" teriak Laela emosi.

 

"Bodo amat! Memangnya gue peduli, hah?! Yang terpenting di dunia ini adalah uang, uang, dan uang! Kalau lo ada uang, lo akan dibela dan dipedulikan! Tapi kalau lo nggak ada uang, lo ditendang kayak sampah! Nggak peduli meskipun kalian yatim piatu!"

 

Laela menggeram murka, mengepal tangan kuat-kuat. Meskipun Laela jago bela diri, tetap saja dia tidak boleh memakai cara kekerasan di depan anak-anak panti.

 

"Lihat saja! Saya akan membuat kalian mengemis-ngemis sama saya!" teriak Laela lantang.

 

Manajer, Rambo dan semua petugas sewa tertawa terbahak-bahak, mengejek.

 

"jangan mimpi, wanita miskin!" maki Rambo.

 

Laela langsung menghubungi Anderson dan meminta bantuannya.

 

"Apa nama PT biadab itu, Nyonya?" tanya Anderson menahan geram dari seberang sana.

 

"PT. Jaya Perkasa Properti!"

 

"dasar, perusahaan hina!" umpat Anderson murka. "Hanya perusahaan kecil saja berani menindas Nyonya dan anak-anak."

 

"Memangnya kamu tahu tentang PT itu?"

 

"Tentu saja, Nyonya. PT itu masih merupakan rekan kerja Diamond Corp. Nyonya tenang saja, saya akan melibas parasit-parasit itu!"

 

"Terima kasih, Anderson."

 

Sambungan dimatikan.

 

Tak lama kemudian, Direktur PT. Jaya Perkasa Properti datang dan memarah-marahi, bahkan memaki manajer belagu itu. Meskipun manajer itu berkali-kali meminta maaf, tetapi tetap berakhir pemecatan.

 

Direktur menyuruh semua karyawannya pergi dan melepaskan segel dari rumah panti, dan mengusir manajer kontraktor.

 

Direktur tersebut segera menghampiri Laela dan anak-anak panti.

 

"Maafkan kami atas nama Direktur PT. Jaya Perkasa Properti, Tuan Putri. Saya benar-benar tidak tahu kalau mereka sampai melakukan hal senekat ini," pinta Direktur penuh penyesalan.

 

"Saya mohon, tolong bujuk Tuan Anderson supaya jangan membatalkan kerja sama kami. Saya berjanji akan membangun rumah panti lebih besar dan mewah lagi tanpa biaya apa pun."

 

Laela menatap pria paruh baya itu jengkel. "Baiklah, saya setuju. Tetapi saya minta, jangan lakukan hal seperti ini pada siapa pun lagi. Karena belum tentu anak yang dibesarkan di panti asuhan adalah sampah."

 

"Tentu saja, Tuan Putri." Direktur langsung mengangguk cepat. "Saya berjanji, tidak akan mengulanginya lagi," tekadnya bersungguh-sungguh.